Sabtu, 30 Januari 2010

kesaksian saya

Bocah lelaki itu terpekur. Dokter baru saja memberi vonis yang mengejutkan: secara berangsur-angsur kemampuan otaknya akan menurun dan tingkat intelegensinya akan berkurang demikian drastis bagaikan penderita down syndrome. Ia di vonis menderita penyakit syaraf otak.

Maka ia pun tak kuasa membendung air matanya setiap melintasi sekolah yang diperuntukkan untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, yang letaknya dekat dengan rumahnya di wilayah Tebet, Jakarta.

Ah Tuhan, apakah kelak saya akan berada di tempat itu?
keluh anak lelaki yang bernama lengkap Gilbert Emanuel Lumoindong itu.

Bertepatan dengan penyakit saraf otak yang diderita Gilbert, kedua orang tuanya mulai rutin menyambangi Persekutuan Doa (PD) yang dipimpin oleh mendiang Ibu Ev. Slamet dan Bapak Ev. Murti yang berada di dekat tempat tinggal mereka.

Saat itu hamba Tuhan dari Belanda tengah berkunjung untuk melayani di tempat itu. Gilbert pun tak ketinggalan menghadiri ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) dan iapun turut maju saat hamba Tuhan memanggil jemaat yang ingin di doakan.

Dengan iman kanak-kanak yang dimilikinya. Gilbert menyakini bahwa saat itu juga ia sudah sembuh. Maka tanpa tedeng aling-aling, setiba di rumah ia pun membuang pelbagai obat yang selama ini di konsumsinya.

Ya, Gilbert tak hanya mengalami kesembuhan, kemampuan otaknya pun mengalami peningkatan hingga ia selalu mendapat predikat juara kelas bahkan lulus dari SMA dengan nilai terbaik.

Menjelang tidur, usai mengalami kesembuhan ilahi, terlintas pikiran di benak Gilbert yang kala itu masih berusia 10 tahun: Secara manusia saya ini sudah tidak layak, karena menderita penyakit syaraf otak. Tapi karena Tuhan sudah menyembuhhkan, maka hidup saya ini milik Tuhan. Apapun yang Tuhan ingin saya perbuat, saya bersedia.

Maka meski masih duduk di bangku SD, Gilbert kecil tak segan-segan mendatangi persekutuan yang diperuntukkan untuk orang dewasa, ketimbang mengikuti ibadah sekolah minggu.

Waktu itu di sekolah minggu kisah yang di ajarkan kebanyakan cerita dongeng, kenang Gilbert. Sementara saya ingin mendengarkan firman.

Memasuki bangku SMP , ia mulai melayani di gereja , saat duduk di bangku SMA ia terlibat dalam pengurusan Rohani Kristen di sekolah. Disekolah itu pula, SMA Negeri 3 Setiabudi, Jakarta. Gilbert bertemu dengan pujaan hati: Reinda Lumoindong.

Suatu ketika, saat persekutuan di sekolah, lantaran absennya pembicara. Gilbert pun diminta untuk membawakan khotbah. Suatu kebetulan bagi manusia tetapi tentunya tidak kebetulan bagi Tuhan, karena ia baru saja menyelesaikan pelatihan School of Ministry milik Morris Cerullo dan sebelumnya pernah mengikuti kursus Alkitab di GBI Mawar Saron. Tak di nyana, inilah awal perjalanan seorang Gilbert Lumoindong sebagai seorang hamba Tuhan yang dipakai Tuhan secara luar biasa.

Setelah itu Gilbert pun diminta untuk melayani sebagai pembicara di berbagai sekolah di Jakarta. Setelah lulus dai SMA, pria kelahiran 26 Desember 1966 itu pun kian memantapkan panggilannya sebagai hamba Tuhan dimana ia menimba ilmu di Institut Theologia dan Keguruan Indonesia (ITKI) Petamburan, Jakarta.

Nama Gilbert Lumoindong mulai dikenal saat ia bergabung pelayanan Gospel Overseas (GO) Studio dan menjadi host siaran penyegaran rohani Kristen Protestan di RCTI tahun 1991. Tak dipungkiri, karena seringnya muncul di layar televisi, pamornya pun kian meningkat. Apalagi, ia juga sering mendapat permintaan untuk menjadi pembicara di berbagai KKR dan acara-acara rohani lainnya.

Melalui GL Ministry yang resmi berdiri pada tahun 1998, pelayannnya semakin berkembang bahkan hingga ke manca negara. Namun beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 2002, Tuhan mulai meletakkan visi yang baru, yakni hati sebagai gembala.

"Awalnya saya mengira bahwa itu hanya suara hati bahkan suara iblis. Karena saya yakin bahwa pada waktu itu panggilan saya adalah penginjil dan bukan gembala, papar Gilbert seraya menambahkan, bahwa walaupun ia mencoba dengan berbagai cara untuk mengenyahkan pikiran tersebut ternyata suara itu semakin kuat."

Akhirnya Gilbert "menyerah" dan mulai merintis sebagai gembala jemaat pada tahun 2007. Diakui Gilbert, saat ia memutuskan untuk menjadi gembala, ada banyak suara miring di sekitarnya lantaran ia pernah berucap bahwa ia tak pernah menjadi seorang pemimpin jemaat.

Saya lebih baik salah terhadap diri sendiri, daripada salah terhadap Tuhan, tegas Gilbert yang tidak peduli dengan cacian "menjilat ludah sendiri" yang ditujukan kepadaNya, asal untuk kemuliaan nama Tuhan.

Kini di bawah penggembalaannya, Tuhan mempercayakan ayah dari Garren, Chella dan Evan Lumoindong ini untuk memimpin hingga saat ini sekitar 8000 jemaat yang tergabung dalam GBI Glow Fellowship Centre dengan visi " Menegakkan Kerajaan Allah Dalam Kebenaran dan Kasih"